ETIKA
ADMINISTRASI NEGARA
Etika Administrasi Negara
yaitu bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas kelakuan yang baik bagi
para administrator pemerintahan dalam menunaikan tugas pekerjaannya dan
melakukan tindakan jabatannya.
PENGARUH COVID-19 DAN DAMPAK PEMBERLAKUAN
PSBB TERHADAP ETIKA ADMINISTRASI NEGARA
Dunia sedang dihebohkan dengan munculnya Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19), yang membawa dampak signifikan ke
perubahan dunia. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, hingga kehidupan
sehari-hari, hampir tak ada yang bisa berkelit dari kemunculan virus Covid-19 ini, tidak terkecuali terhadap
pelayanan publik sejak virus corona pertama kali muncul akhir Desember 2019
lalu. Sejak diumumkan kasus positif virus Covid-19 di
Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu, pemerintah meningkatkan langkah-langkah dalam
menangani pandemi global dari Covid-19.
Sebelum itu, pemerintah juga telah meningkatkan kesiagaan banyak rumah sakit
dan peralatan yang sesuai dengan standar internasional, termasuk pada anggaran
yang secara khusus dialokasikan bagi segala upaya pencegahan dan penanganan.
Sejak awal Maret 2020, berbagai kebijakan telah
dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Mulai dari membatasi hubungan
sosial (social distancing), menghimbau
untuk bekerja di rumah (work from home) bagi sebagian besar Aparatur Sipil
Negara (ASN), meniadakan kegiatan ibadah, dan meminta masyarakat untuk tetap di
rumah serta mengurangi aktivitas ekonomi di luar rumah. Kebijakan tersebut
bermaksud baik, namun dampak dari kebijakan tersebut memiliki resiko tinggi,
hingga akhir Maret 2020 kebijakan pemerintah bukan hanya social distancing tapi
dilanjutkan dengan Physical Distancing, dan
juga pemerintah telah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan
banyaknya instansi penyelenggara layanan publik yang membatasi layanan,
menginisiasi layanan online bahkan sampai meniadakan pelayanan sementara,
menjadi satu fenomena yang harus dilakukan. Pembatasan pelayanan publik ini
mulai dilakukan oleh pemerintah sejak pertengahan bulan Maret 2020 ini, dimulai
dengan meliburkan anak sekolah dengan meminta untuk belajar di rumah dan
kemudian menghimbau kepada pegawai-pegawai untuk melakukan Work From Home (WFH).
Pemberlakuan WFH ini memang tidak diberlakukan kepada
seluruh penyelenggara pelayanan publik, dikarenakan ada beberapa bidang yang
tidak dapat melakukan WFH, seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
terkait dengan perekaman KTP-El, mengenai pembayaran pajak kendaraan bermotor
maupun perpanjangan STNK di Samsat, dan bidang-bidang lain yang memerlukan
kedatangan masyarakat secara langsung. Walaupun tidak memberlakukan WFH, tetapi
tetap memberlakukan pembatasan pelayanan publik. Pembatasan yang dilakukan
yaitu seperti dengan mengurangi jumlah antrian yang masuk ke dalam ruangan dan
di dalam ruangan, serta pelayanan harus mengikuti anjuran jarak aman yaitu
minimal 1 meter. Dengan berlakunya WFH bagi pegawai-pegawai yang bergerak dalam
pelayanan publik, menyebabkan pelayanan publik menjadi terhambat, karena pada
akhirnya beberapa bidang pelayanan tidak dapat melayani masyarakat secara langsung.
Akan tetapi, penyelenggara pelayanan publik kemudian membuat inovasi-inovasi
dalam memberikan pelayanan agar palayanan tidak terhambat seperti memberikan
pelayanan melalui sistem online.
Sistem online ini yang kemudian sedang digalakkan oleh
beberapa penyelenggara pelayanan publik kepada masyarakat agar pelayanan publik
tetap berjalan, seperti contoh beberapa penyelenggara yang melakukan pelayanan
menggunakan sistem online yaitu PLN, yang menggunakan sistem online dalam
pemberian pelayanan mulai dari penyambungan baru, perubahan daya sampai
kepengaduan serta dalam pembayaran melalui ATM atau internet banking. Kemudian
DJP (Direktorat Jenderal Pajak) juga menghentikan pelaporan secara langsung dan
mengarahkan secara online serta memperpanjang masa pelaporan pajak yang
seharusnya berakhir pada tanggal 31 Maret 2020 menjadi tanggal 30 April 2020.
Serta masih banyak lagi penyelenggara pelayanan publik yang menggunakan sistem
online selama masa ini. Di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik sendiri, sebagai dasar dalam penyelenggara pelayanan publik
dalam memberikan pelayanan tidak diatur mengenai pembatasan pelayanan publik,
sebagaimana yang diterapkan oleh penyelenggara pelayanan publik saat ini,.
Tetapi berdasarkan undang-undang ini diatur bahwa penyelenggara pelayanan
publik mempunyai kewajiban untuk memenuhi komponen standar pelayanan
minimal seperti persyaratan, dasar hukum, sistem mekanisme prosedur, jangka
waktu penyelesaian, biaya, produk layanan, dan lain-lain sesuai dengan dalam
Pasal 21. Sehingga walaupun ada kebijakan pembatasan pelayanan publik tersebut,
penyelenggara pelayanan publik tetap harus mematuhi standar pelayanan minimal
dengan tetap memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing pihak baik
penyelenggara maupun masyarakat, sebagaimana diatur dalam BAB IV dari Pasal 14
sampai dengan Pasal 19. Sehingga walaupun terjadi pembatasan dalam pemberian
pelayanan publik, tetapi penyelenggara masih memberikan pelayanan publik yang
efektif dan prima kepada masyarakat.
Himbauan pemerintah untuk tetap berada di rumah dan
pembatasan pemberian pelayanan publik ini memang membuat masyarakat menjadi
kurang nyaman dalam menerima pelayanan publik, tetapi ini merupakan kebijakan
yang saat ini diambil pemerintah adalah upaya untuk membatasi atau menghentikan
penyebaran Virus Corona. Dengan adanya pembatasan ini apakah kemudian hak-hak
dari masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik menjadi berkurang? Itu
merupakan pertanyaan mendasar dari sebagian besar masyarakat. Dengan adanya
pembatasan pelayanan publik menjadi sedikit berkurang benefit yang diperoleh
masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik. Akan tetapi, masyarakat tetap
mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik, dan masyarakat
mempunyai peran dalam pengawasan terhadap pembatasan pelayanan publik yang
dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik. Peran masyarakat sesuai dengan
Undang-undang adalah, untuk mengawasi jalannya pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Seperti yang diatur dalam
Pasal 39 menjelaskan bahwa, masyarakat seharusnya disertakan mulai dari
penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi jalannya pelaksanaan
pelayanan publik.
Dalam keadaan darurat dan mendesak saat ini yang
dikarenakan penyebaran virus Covid-19 yang sangat cepat ini, masyarakat mungkin
tidak dilibatkan dalam penyusunan standar pelayanan terkait pembatasan
pelayanan publik. Akan tetapi, masyarakat masih mempunyai peran yang lain yaitu
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (3) bahwa masyarakat adalah sebagai
pengawas eksternal. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik itu dapat
dilakukan oleh pengawas internal dan eksternal, masyarakat yang merupakan
pengawas eksternal dapat melakukan tugas pengawasannya dengan melalui laporan
atau pengaduan, akan tetapi masyarakat tidak bisa menilai atau melakukan
pengawasan secara penuh terkait standar layanan, dikarenakan kondisi sekarang
masih tidak normal. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini dilakukan
dengan memastikan apakah pembatasan pelayanan publik yang dilakukan oleh
penyelenggara ini masih memenuhi komponen-komponen dalam standar pelayanan,
sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 21, serta masyarakat masih mendapatkan
haknya sebagaimana diatur juga dalam Pasal 18.